Sabtu, 10 Februari 2018

Sejarah Lahir Dompu Baru kunci peradaban Dompu

Gambar Gunung Tambora, saksi peradaban dompu baru


Letusan gunung tambora juga membawa dampak yang sangat besar bagi roda pemerintahan Kesultanan Dompo. Menurut Prof. Dr. Helyus Syamsuddin, Ph.D, dengan mengutip Raffless, pada saat itu pusat pemerintahan yang terletak di situs Doro Bata, Kandai Satu, dipindahkan ke lokasi baru. Yakni ke lokasi kampo rato, Kelurahan Karijawa sekarang ini. Selain itu, luas wilayah Kesultanan Dompo sendiri mengalami penambahan. Belanda menjadikan wilayah Kerajaan Pekat sebagai wilayah Dompo sejak kerajaan itu musnah ditelan amukan Tambora.

Dompu Sebelum 10 April 1815

Sebelum Gunung Tambora meletus dahsyat pada 10 April 1815, Dompu merupakan sebuah daerah Kerajaan Islam yang sangat berbeda dengan apa yang kita saksikan hari ini. Kerajaan itu dulu bernama Kerajaan Dompo. Penduduknya terdiri atas penduduk asli Dompu, para bangsawan yang merupakan campuran dengan bangsawan Lampung, sisa pasukan Majapahit dari Jawa dan Bali yang telah berbaur dengan penduduk asli, serta masyarakat suku Bugis dan Goa yang datang pada masa Islamisasi Pulau Sumbawa tahap kedua. Struktur sosial yang berlaku terdiri atas kelas bangsawan yang disebut londo Ruma ro Rato, kaum pendatang dari Bugis dan Goa yang akhirnya menempati posisi Londo Rato  (kadang disederhanakan dengan istilah bangsawan kelas dua), keturunan biasa yang disebut Londo Dari dan kelas pekerja dan budak yang disebut Londo Ada.

Sebelum letusan Tambora, wilayah Kerajaan Dompo mencakup wilayah Kecamatan Dompu, Pajo, Hu’u, Woja, Manggelewa, Kilo dan Kempo sekarang ini. Meskipun ada beberapa daerah kecil seperti Tompo dan Taloko yang masih menjadi wilayah sengketa dengan kerajaan tetangga. Kerajaan Dompo menempati wilayah yang berbukit-bukit di bagian tengah P. Sumbawa. Pusat Kerajaannya sendiri berada di sebuah lembah yang subur dan dialiri sebuah sungai yang cukup besar di bagian utaranya. Lembah itu merupakan areal pertanian yang tinggi produktivitasnya. Di bagian tengah lembah agak ke selatan tegak sebuah bukit setinggi rumah berlantai dua. Di atas bukit itulah istana Kerajaan Dompo berada. Di sekeliling istana berdiri bangunan rumah para bangsawan pejabat istana beserta keturunan mereka. Di bagian timur laut berdiri sebuah masjid yang patut diduga sebagai masjid pertama di tanah Dompu. Di halaman masjid itu terdapat makam seorang ulama dari negeri yang jauh, beliau bernama Syaikh Hasanuddin dan digelari oleh masyarakat sebagai Waro Kali yang berarti Syekh yang menjadi Kalif atau Qadhi kerajaan. Tak jauh dari pusat pemerintahan itu berdiri perkampungan para pendatang di sebelah timur, dan adapula di seberang Sungai Sori Laju.

Kerajaan Dompo menempati wilayah dengan curah hujannya tinggi dan ditutupi oleh hutan lebat yang kaya akan sumber daya alam yang melimpah. Padi, kedelai dan jagung tumbuh subur, hutan menyediakan madu dan kayu pilihan. Di teluk di Pantai utara Kerajaan Dompo, mengandung mutiara, begitu juga dengan wilayahnya yang disebut Teluk Cempi saat ini.

Dompu Setelah 10 April 1815

Letusan besar G. Tambora pada 10 April 1815 menghancurkan segalanya. Daerah Perkampungan maupun daerah pertanian semua rata tersapu abu panas setebal 30 cm. Hanya mereka yang belum sampai ajalnya yang selamat dari bencana kutukan Tuhan itu. Komoditi utama immpor berupa hasil pertanian musnah, pun juga kuda-kuda gagah. Yang tersisa hanya kekacauan di mana-mana. Di jalanan bergelimpangan mayat manusia dan hewan, tertimpa reruntuhan rumah panggung atau pohon-pohon besar. Manusia yang selamat memakan apa saja, meskipun bangkai. Susah mendapatkan air bersih, makanan harus didatangkan dari Jawa. Orang rela menjual apa saja untuk bertahan hidup dalam kondisi gila itu, meskipun itu berarti ia harus menjadi anak bahkan dirinya sendiri untuk menjadi budak. Demi segantang beras, demi sesuap nasi. Schele dan Tobias melaporkan, baru tahun 1824 kondisi pertanian Kerajaan Dompo membaik. Tanah sudah bisa ditanami dan hasilnya dapat dipanen. Namun semuanya tak sama lagi.

Letusan dahsyat itu merubuhkan istana Kerajaan Dompo yang terbuat dari bata itu. Sebagai bangunan peninggalan masa akhir kekuasaan Majapahit, bangunan istana itu terlalu rapuh. Pondasinya tidak cukup kuat menahan guncangan gempa vulkanik akibat letusan Tambora. Sultan Abdurrasul II (1809-1857) yang berkuasa saat itu merasa bahwa tidak layak lagi negeri bekas dilanda bencana untuk ditempati. Dia memerintahkan pejabat dan rakyatnya yang tersisa untuk memindahkan pusat pemerintahan. Dipilihlah lokasi di seberang sungai, ke arah utara, sebuah lokasi yang sekarang disebut Kampo Rato – Kampung Bangsawan. Di sanalah istana kembali dibangun dengan sumber daya yang tersisa. Tahun 1817 Sultan Dompu, bersama Sultan Bima dan Sultan Sanggar mendatangi Kruijthoff – Gubernur Belanda di Makassar untuk memperbaharui kontrak dengan Belanda.

Tahun 1855 seorang penguasa dari Tompo di Sulawesi bernama Daeng Manrangka datang ke Tambora. Dia mengaku bahwa dirinya merupakan keponakan dari Raja terakhir Tambora yang ditugasi untuk menempati wilayah Kadinding dan kampung Tompo. Tapi niatnya iini ditentang oleh berbagai pihak yang tinggal di wilayah itu karena Tompo merupakan tanah sengketa antara Kerajaan Tambora dan Kerajaan Dompo. Meski demikian, Kruijthoff mau  mengakui Daeng Manrangka sebagai penguasa Tompo dan sekitarnya (Kadinding dan Tambora) karena Daeng Manrangka sebagai ahli waris yang sah untuk mengelola wilayah bekas Tambora dan Pekat.

Kerajaan Dompo merasa banyak dirugikan oleh Daeng Manrangka karena pendapatan Dompo berkurang di wilayah tersebut. Tak terelakkan, letupan-letupan pertempuran pun sering terjadi di wilayah Tompo. Banyak korban dari pihak Kerajaan Dompu terus berjatuhan membuat Daeng Manrangka merasa di atas angin hingga terus merangsek teritori Kerajaan Dompo.

Merasa terganggu oleh ulah sewenang-wenang Daeng Manrangka, akhirnya Sultan Muhammad Salahuddin (1857-1870) yang menggantikan Sultan Abdurrasul II melaporkan hal ini pada Gubernur Kruijthoff. Sehingga pada tahun 1861 Daeng Manrangka ditangkap dan diadili di Makassar. Ia dijatuhi hukuman yaitu mengosongkan wilayah Tompo dan sekitarnya untuk diserahkan pada Dompo dalam waktu tiga bulan. Sejak saat itu seluruh wilayah Kerajaan Pekat yang mencakup Kecamatan Pekat kini, menjadi bagian dari Kerajaan Dompo.

Migrasi Penduduk Bima ke Dompu

Adanya kesamaan nama-nama kampung di Dompu dengan Bima menjadi bukti monumental transmigrasi penduduk Bima ke wilayah Dompu. Hari ini kita mengenal Buncu, Ranggo, Rasa Na’e, Simpasai, Ncera, Renda, Monta, Tonda, Woro, Mpuri, Campa, Wera, Wawo, Wawo Nduru, Wawo Baka, Bolo Nduru, Bolo Baka, Rasa Nggaro Samili, dll. Juga ada O’o, Karamabura, Dori dungga, dll berasal dari Donggo. Penduduk Bima telah menjadi bagian integral masyarakat Dompu, mempengaruhi corak kebudayaan dan bahasa setempat.

Di masa penggabungan Kerajaan Dompu ke Kerajaan Bima, Sultan M. Salahuddin yang menguasai Bima waktu itu membuat kebijakan transmigrasi pertama ke Dompu. Didatangkanlah penduduk dari berbagai pelosok Kerajaan Bima. Mulai dari penduduk pinggiran Kota Bima; penduduk pesisir Sape dan Wera; dari pedalaman Monta, Belo, dan Woha; hingga penduduk pinggiran wilayah Sila Bolo hingga Campa. Tak ketinggalan juga penduduk wilayah Donggo.

Setelah M.T. Arifin Sirajuddin berhasil mengembalikan kedaulatan Kerajaan Dompo pada tahun 1947, Kerajaan Dompo memasuki senjakala ketika keluar UU no. 44 tahun 1950. Kabupaten Dompu dibentuk. Menurut penuturan Dr. Hj. Siti Maryam Salahuddin, proses pembentukan Daerah Kabupaten Dompu kala itu masih menemui kendala dengan masalah jumlah penduduk. Akhirnya disepakatilah untuk dilakukan transmigrasi penduduk Bima lagi ke Dompu.

.

Migrasi Penduduk Lombok dan Bali ke Dompu

Orde Baru terkenal dengan program transmigrasinya untuk tujuan pemerataan jumlah penduduk. Sebagai daerah yang wilayahnya luas namun penduduknya jarang, Kabupaten Dompu menjadi salah satu destinasi transmigrasi. Didatangkanlah penduduk korban letusan gunung agung tahun 1963 ke Dompu. Begitu juga penduduk Pulau Lombok yang tak punya tanah untuk diolah dipersilahkan mengikuti program transmigrasi ke Dompu. Mereka menempati lahan-lahan pertanian kosong yang subur di wilayah Kecamatan Pajo, Huu, Manggelewa, Kempo, Kilo dan Pekat. Namun sepertinya migrasi pertama penduduk Pulau Lombok terjadi jauh sebelum itu. Sebab ada bukti monumental berupa sebuah kampung yang disebut sebagai Kampung Lombok oleh penduduk asli Dompu. Nama resmi Kampung Lombok saat ini adalah Dusun Selaparang dan berada di wilayah Desa Matua.

Selain itu, transmigrasi juga diikuti oleh peserta dari Bima. Mereka menempati tanah-tanah kosong di Kecamatan Huu, Pajo, Manggelewa, Kilo, Kempo dan Pekat berdampingan dengan transmigran asal Bali dan Lombok. Penduduk berbahasa Bima di Kecamatan Manggelewa dan Pekat umumnya didominasi pendatang dari Bima.

11 April, Lahirnya Dompu Baru.

Bagi Dompu sendiri, letusan maha dahsyat gunung tambora telah mengubur banyak sekali cerita negeri ini. Kita bisa memahami kalimat ini jika kita tahu bahwa begitu sedikitnya sumber informasi sejarah tentang masa lalu Dompu. Begitu banyak hal yang telah terkubur di bawah tanah Dompu tempat kita berpijak. Lebih dari pada itu letusan tambora telah memusnahkan sebagian besar populasi penduduk asli Dompu. Yang kemudian membuat banyak etnis akhirnya datang dan mendiami Dompu yang baru. 11 April adalah hari baru di mana Dompu mengalami face off secara total, 11 April adalah momentum bermulanya countdown perubahan ekonomi, sosial, politik dan budaya di Dompu. Hingga saat ini, proses itu masih terus berlangsung.

Dengan bertambahnya luas wilayah, dan migrasi berbagai etnis ke Dompu paska letusan dahsyat Tambora, maka konstruksi sosial di Dompu secara bertahap mengalami perubahan. Karena mereka adalah pendatang, maka perasaan mereka tidak terlalu terikat dengan penguasa di Kerajaan Dompu. Para pendatang ini akhirnya diterima sebagai bagian dari masyarakat Dompu bahkan di zaman penerapan demokrasi, mereka dapat menggeser posisi kaum elitis tradisional dari panggung kekuasaan dan juga dari hati rakyat. Hal itu juga yang menjadikan karakter masyarakat Dompu umumnya adalah keras dan kaku. Egois dan sulit diatur sebagaimana halnya masyarakat Bima-Dompu pada umumnya. Celakanya, sebagian di antara mereka terkadang membawa bibit-bibit konflik bersamaan dengan proses migrasi tersebut.

Mengutip: Kambali Dompu Mantoi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat datang, terimakasih sudah berkunjung.
Mohon gunakan bahasa yang sopan dalam berkomentar.
Jika ingin minta data postingan ini, silahkan chat pada kolom yang disediakan.

Terimakasih

Popular Posts

Arsip Blog

Definition List

Unordered List

Support