Dalam sejarah Indonesia ada dua kerajaan islam sebagai
penonggak sejarah ajaran islam di Daerah pulau Jawa, yaitu kerajaan Demak
sebagai penguasa saat itu dan kerajaan Cirebon serta kerajaan Banten sebagai
pembantu untuk menyebarkan ajaran-ajaran islam di daerah Jawa bagian Barat,
atau tanah pasundan.
Banyak misteri tentang kerajaan Cirebon yang awalnya
didirikan oleh Syarif Hidayatulloh, dimana beliau adalah putra dari Nyai Rara
Santang dan tidak salah lagi bahwa beliau adalah keturuan dari Prabu Siliwangi
penguasa tanah pasundan pada massanya yang tidak mau memeluk agama islam dan
lebih mengalah kepada anaknya dengan memberikan sebagian wilayah kekuasaan di
Daerah Cirebon untuk didirikan pusat – pusat ajaran islam. Banten sebagai
penguasa di daerah selat sunda adalah sebuah kerajaan yang sudah memliki
hubungan diplomatik dengan kerajaan Cirebon. Namun karena masuknya VOC ke
Indonesia pada saat itu membuat dua kerajaan ini musnah dan lenyap di telan
zaman.
Sejarah Kerajaan Cirebon
Kerajaan Cirebon merupakan bagian dari administratif
Jawa Barat. Cirebon sendiri mempunyai arti seperti di daerah-daerah lainnya.
Cirebon berasal dari bahasa sunda “ci” yang berarti air, sedangkan “rebon”
berarti udang. Cirebon mempunyai arti sungai udang atau kota udang. Cirebon didirikan
pada 1 Sura 1445 M, oleh Pangeran Cakrabuana. Pada tahun 1479 M Pangeran
Cakrabuana sebagai penguasa Cirebon yang bertempat di kraton Pakungwati Cirebon
menyerahkan kekuasaannya pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati adalah
seorang menantu Pangeran Cakrabuana dari ibu Ratu Mas Rara santang. Sejak
inilah Cirebon menjadi negara merdeka dan bercorak Islam.
Sebelum berdirinya kekuasaan politik Islam di bawah
kekuasaan Sunan Gunung Jati wilayah Cirebon dibagi menjadi dua daerah, pesisir
dan pedalaman. Daerah pesisir dipimpin oleh Ki Gendeng Jumajan Jati, sedangkan
wilayah pedalaman dipimpin oleh Ki Gendeng Kasmaya. Keduanya adalah saudara
Prabu Anggalarung dari Galuh. Sunan Gunung Jati kemudian menikah dengan Ratu
Mas Pakungwati dari Cirebon pada tahun 1479 dan pada tahun itu juga di bangun
Istana Pakungwati atau keraton Kasepuhan.
Putra Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Pasarean pada
tahun 1528 diangkat sebagai pemangku kekuasaan di Cirebon. Sebelum sempat
menggantikan ayahnya, Pangeran Pasarean wafat pada tahun 1552. Sunan Gunung
Jati kemudian mengangkat Aria Kemuning menjadi sultan Cirebon. Aria Kemuning
adalah anak angkat dari Sunan Gunung Jati. Aria Kemuning atau julukannya Dipati
Carbon 1 menjabat sebagai sultan Cirebon kurang lebih 12 tahun, yaitu sejak
1553-1565.
Perkembangan Islam pada
Masa Syekh Idlofi Mahdi
Menurut Tome Pires, seorang musyafir dari negeri
Portugis pendapat Islam masuk ke Kerajaan Cirebon pada tahun 1470-1475. Pada
tahun 1420 M, datang serombongan pedagang dari Baghdad yang dipimpin oleh Syekh
Idlofi Mahdi, ia tinggal di dalam perkampungan Muara Jati dengan alasan untuk
memperlancar barang dagangannya. Syekh Idlofi Mahdi memulai kegiatannya selain
berdagang dia juga berdakwah dengan mengajak penduduk serta teman-temannya
untuk mengenal serta memahami ajaran Islam. Pusat penyebarannya brada di Gunung
Jati. Syekh Idlofi Mahdi menyebarkan agama Islam dengan cara bijaksana dan
penuh hikmah.
Sebelum masuknya Islam ke pulau jawa pada umumnya dan
kerajaan Cirebon khususnya, situasi masyarakat di pengaruhi sistem kasta pada
ajaran agama Hindu kehidupan masyarakatnya jadi bertingkat-tingkat. Mereka yang
mempunyai kasta lebih tinggi tidak dapat bergaul dengan dengan kasta yang lebih
rendah atau pergaulan diantara mereka dibatasi. Setelah ajaran Islam disebarkan
oleh Syekh Idlofi Mahdi, susunan masyarakat berdasarkan kasta ini mulai
terkikis dan dimulailah kehidupan masyarakat tanpa adanya perbedaan kasta.
Perkembangan Islam pada masa Sunan Gunung Jati atau
Syarif Hidayatullah.
Menurut semua sejarah lokal dari Cirebon termasuk
cerita Purwaka Caruban Nagari, masuknya Islam di Cirebon pada abad
15 yaitu pada tahun 1470. Disebarkan oleh Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah.
Penyebaran agama Islam itu dimulai ketika Syarif Hidayatullah berusia 27 tahun
yaitu dengan menjadi mubaliqh Cirebon. Di tahun 1479 Syarif Hidayatullah
menikah dengan Nyi Ratu Pakungwati, putri dari pangeran Cakrabuana. Pengganti
pangeran Cakrabuana sebagai penguasa Cirebon di berikan pada Syarif
Hidayatullah. Pada tahun pengangkatannya Syarif Hidayatullah mengembangkan
daerah penyebarannya di wilayah Pajajaran.
Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanannya
menuju ke daerah Serang yang sebagian rakyatnya sudah mendengar tentang Islam
dari pedagang-pedagang dari Arab dan Gujarat yang berlabuh di pelabuhan Banten.
Syarif Hidayatullah mendapat sambutan hangat dari adipati Banten. Daerah-daerah
yang telah diislamkan antara lain : Kuningan, Sindangkasih, Telaga, Luragung,
Ukur, Cibalagung, Kluntung, Bantar, Indralaya, Batulayang, dan Timbangaten. Di
wilayah Pejajaran Agama Islam berkembang pesat di negeri Caruban yang dipimpin
oleh Syarif Hidayatullah. Demak kemudian menjalin persahabatan dengan Syarif
Hidayatullah. Setelah mengenal Syarif Hidayatullah Raden Patah bersama-sama
para mubaliqh yang sudah bergelar sunan menetapkan Syarif Hidayatullah sebagai
Panata Gama Rasul di tanah Pasundan. Panata Gama Rasul artinya orang yang
ditetapkan sebagai pemimpin penyiaran Agama Nabi Muhamad di tanah Jawa.
Kemudian atas kesepakatan para sunan Syarif Hidayatullah di beri gelar Sunan
Gunung Jati dan menjadi Sunan paling terakhir yaitu sunan ke-9 dari sunan 9
sunan lainnya.
Kerajaan-kerajaan yang berhasil ditaklukkan Sunan
Gunung Jati diantaranya:
1. Talaga, sebuah kerajaan yang beragam
Hindu yang terletak di sebelah barat daya Cirebon di bawah kekuasaan Prabu
Kacukumun.
2.
Rajagaluh, bekas pusat kerajaan
Pajajaran yang beragama Hindu yang diperintah Prabu Cakraningrat. Prabu
Cakraningrat tidak senang dengan kemajuan Cirebon dan persebaran agama Islam di
Cirebon di tangan Sunan Gunung Jati. Akibatnya timbulah perang antara Cirebon
dengan Rajagaluh, kemenangan berada di tangan Cirebon. Berakhirnya kekuasaan
Rajagaluh sekaligus merupakan berakhirnya kekuasaan kerajaan Hindu di daerah
Jawa Barat sebelah Timur.
Pada tahun 1498 para Walisongo yang diprakarsai oleh
Sunan Gunung Jati membangun Masjid Agung Cirebon. Pembangunannya dipimpin oleh
Sunan Kalijaga dengan seorang arsitek Raden Sepat ( dari Majapahit bersama 200
orang pembantunya dari Demak ). Masjid ini juga disebut Sang Cipta Rasa karena
terlahir dari rasa dan kepercayaan penduduk. Pada masa itu juga disebut dengan
Masjid Pekungwati karena dulu masjid itu terletak dalam komplek keraton
Pekungwati dan sekarang dalam komplek kasepuhan. Menurut cerita masjid itu
dibangun dalam waktu semalam dan besok pada waktu subuh digunakan untuk Sholat
Subuh. Pada tahun 1568 Sunan Gunung Jati meninggal pada usia yang sangat lanjut
yaitu 120 tahun, dia dimakamkan di pertamanan Gunung Jati.
Cirebon Sebagai Bandar Dagang
Letak Cirebon yang strategis yaitu di daerah pesisir
pantai Utara pulau Jawa. Cirebon sebagai pusat pelabuhan berfungsi sebagai
sumber pendapatan ekonomi dan sebagai keluar –masuknya barang-barang kebutuhan
pada masyarakat pedesaan, dengan luar daerah, maupun dari negeri lain.
Perdagangan ini melalui dua jalur yaitu jalur darat dan jalur laut. Jalur darat
biasanya dengan alat transportasi darat seperti dengan berkuda atau mengendarai
gajah. Jalurnya dari Banyumas menuju Tegal kemudian menuju Periangan. tiga
wilayah pedalaman diandalkan sebagai penghasil bahan-bahan pertanian seperti
sayur-mayur, buah-buahan, padi. Sedangkan barang dagangan yang dibawa dari luar
daerah yaitu : logam, besi, emas, perak, sutera, dan keramik. Barang-barang
tersebut biasanya berasal dari Cina.
Dalam transaksi perekonomian dan perdagangan Cina
mempunyai peranan yang sangat besar karena barang-barang kebutuhan masyarakat
dibawa oleh pedagang-pedagang dari Cina. Mereka memakai sistem barter yang
dimaksud barter disini yaitu barter uang dengan mempergunakan mata uang.
Perdagangan Cirebon mengalami kemunduran karena adanya monopoli perdagangan
dari kompeni Belanda pada 30 April 1632.
Pelapisan Sosial Kerajaan Cirebon
Masyarakat Cirebon dibedakan berdasarkan kedudukan dan
digolongkan menjadi 4 lapisan sosial :
1. Golongan Raja yang terdiri dari raja beserta keluarganya. Raja ditempatkan
pada lapisan paling tinggi. Para raja atau sultan Cirebon merupakan golongan
ningrat yang tinggal di lingkungan kerajaan atau istana. Raja menjalankan
berbagai kebijaksanaan dan perintahnya. Hubungan antara raja, bangsawan, dan
masyarakat sangat dibatasi.
2. Golongan Elite terdiri dari para bangsawan, priyayi, tentara, golongan
Islam, dan pedagang-pedagang kaya. Patih menempati lapisan yang paling penting
karena baik raja maupun pejabat-pejabat penting lainnya merasa tunduk dan patuh
kepada keamanan sang patih.
3. Golongan non Elite. Golongan ini terdiri dari lapisan masyarakat kecil yang
pada umumnya mempunyai mata pencaharian sebagai petani, pedagang, tukang,
nelayan, dan golongan masyarakat bawah. Golongan petani dan pedagang merupakan
tulang punggung bagi perekonomian kerajaan. Prajurit mempunyai tugas cukup
berat yaitu ikut dalam peperangan.
4. Golongan Budak. Golongan ini terdiri dari buruh, para
budak, dan pekerja kasar. Mereka adalah orang-orang yang bekerja berat secara
fisik menjual tenaga badaniyah atau mengerjakan pekerjaan kasar. Golongan ini
tidak hanya laki-laki saja tetapi juga wanita kadang anak-anak di bawah umur.
Walaupun budak menempati posisi paling bawah tetapi mereka dibutuhkan oleh raja
untuk melayani kepentingan-kepentingannya.
Terpecahnya Kesultanan Cirebon
Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi
kekosongan penguasa. Pangeran Wangsakerta yang bertanggung jawab atas
pemerintahan di Cirebon selama ayahnya tidak berada di tempat,khawatir atas
nasib kedua kakaknya. Kemudian ia pergi ke Banten untuk meminta bantuan Sultan
Ageng Tirtayasa (anak dari Pangeran Abu Maali yang tewas dalam Perang
Pagarage), beliau mengiyakan permohonan tersebut karena melihat peluang untuk
memperbaiki hubungan diplomatic Banten-Cirebon. Dengan bantuan Pemberontak
Trunojoyo yang disupport oleh Sultan Ageng Tirtayasa,kedua Pangeran tersebut
berhasil diselamatkan. Namun rupanya, Sultan Ageng Tirtayasa melihat ada
keuntungan lain dari bantuannya pada kerabatnya di Cirebon itu, maka ia
mengangkat kedua Pangeran yang ia selamatkan sebagai Sultan,Pangeran
Mertawijaya sebagai Sultan Kasepuhan & Pangeran Kertawijaya sebagai Sultan
Kanoman,sedangkan Pangeran Wangsakerta yang telah bekerja keras selama 10 tahun
lebih hanya diberi jabatan kecil, taktik pecah belah ini dilakukan untuk
mencegah agar Cirebon tidak beraliansi lagi dengan Mataram.
Perpecahan I
(1677)
Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan
demikian terjadi pada masa penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya,
yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini
merupakan babak baru bagi keraton Cirebon, dimana kesultanan terpecah menjadi
tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya. Dengan
demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:
I.
Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya,
dengan gelar SultanSepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703).
II.
Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya,
dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723).
III.
Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan
Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan
Tohpati (1677-1713).
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi
dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa,
karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon
di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh,
rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi
sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau
keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron),
yaitu tempat belajar para intelektual keraton. Dalam tradisi kesultanan di
Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan
tradisi keraton, di mana seorang sultan akan menurunkan takhtanya
kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari
cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang dapat memangku jabatan
itu sebagai pejabat sementara.
Perpecahan II (1807)
Sukses para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan
lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana
terjadi perpecahan karena salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman,
ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan
Kacirebonan. Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial
Belanda dengan keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat keputusan)Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang mengangkat Pangeran
Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan
bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan
gelar pangeran. Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi,
yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara tahta
Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom
Abusoleh Imamuddin (1803-1811).
Runtuhnya Kerajaan Cirebon
Kerajaan Cirebon terbagi menjadi 3 kesultanan yaitu,
Keraton Kasepuhan dipegang oleh Sultan Sepuh, Keraton Kanoman dipegang oleh
Sultan Anom, Keraton Karicebonan dipegang oleh Panembahan Karicebonan. Mereka
hanya mengurusi kerajaan masing-masing. Mengakibatkan kerajaan Cirebon
perlahan-lahan mulai hancur.
Setelah Sultan Panembahan Gerilya wafat pada tahun
1702, terjadi perebutan kekuasaan diantara kedua putranya, yaitu antara
Pangeran Marta Wijaya dan Pangeran Wangsakerta. Di samping itu adanya campur
tangan VOC yang mengadu domba mereka membuat persaudaraan mereka menjadi
permusuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Selamat datang, terimakasih sudah berkunjung.
Mohon gunakan bahasa yang sopan dalam berkomentar.
Jika ingin minta data postingan ini, silahkan chat pada kolom yang disediakan.
Terimakasih