Gambar Uma Lengge, Jargon masyarakat wawo
Cerita
Secara turun-temurun tentang asal-usul kedatangan penduduk baru yang berasal
dari sulawesi ke Pulau Sumbawa, khususnya orang Maria yang diperkirakan pada
abad XIV. Mereka berasal dari wawo yang sekarang terletak di Kabupaten Kolaka
di Propinsi Sulawesi Tenggara dengan menggunakan perahu sebagai alat
transportasi antar pulau.
Menurut catatan seorang bangsa
Portugis bernama Tome Pires pada tahun 1512 sampai 1515, bahwa di pulau
Sulawesi terdapat 50 buah kerajaan yang penduduknya masih menyembah berhala dan
memiliki adat yang berbeda-beda, mereka saling bermusuhan terutama antar suku.
Akibat
sering terjadinya permusuhan dengan suku Tolaki yang mayoritas di daerah itu,
masyarakat minoritas Wawo banyak yang bertekad untuk mencari daerah atau pulau
baru yang lebih aman dari permusuhan antar suku. Dengan menggunakan beberapa
buah perahu layar mereka mulai meninggalkan daerah asalnya, dari teluk Bone
melewati beberapa pulau-pulau kecil, sampailah mereka di Pulau Sumbawa (Sumba
Awa) artinya sumba Barat.
Beberapa
buah perahu telah berhasil mendarat di Sape, tetapi sebuah Perahu yang paling
besar terdampar dekat pantai “Pai” dan tidak dapat lagi meneruskan perjalanannya
bersama perahu-perahu lainnya. Perahu itu terdampar kira-kira 200 meter dari
pantai, seluruh penumpang meninggalkan perahunya dan naik ke daratan hingga
bermukim. Pemukiman mereka ini diberi nama “Pai” yang berasal dari kata “Paisi”
tujuan pelabuhan Sape dan kata Sape ini berarti “Sampai (Sampe)”.
Konon perahu yang terdampar itu sampai sekarang masih ada tetapi sudah
merupakan sebuah pulau kecil yang dikelilingi oleh batu karang, diatas pulau
itu tumbuh pohon kamboja. Masyarakat menamakan pulau itu dengan pulau Kapal
(Nisa Kapal).
Perkampungan
di Pai mulanya dari gubuk-gubuk disekitar pantai, masyarakatnya tidak dapat
bertahan lama untuk bermukim disana, karena kesulitan air sebagai kebutuhan
serta lahan disekitarnya tidak cocok untuk daerah pertanian, hanya terbentang
padang rumput yang luas.
Selanjutnya
mereka menuju ke pedalaman dan menetap di sisi kiri dan kanan sungai Pai dimana
persediaan airnya sangat banyak untuk kegiatan pertanian seperti bercocok
tanam, berladang dan bekebun, masing-masing lahan pertaniannya didirikan
pondok-pondok sekaligus dijadikan sebagai tempat tinggal tetap.
Perladangan mereka makin lama semakin jauh dari perkampungannya sehingga sampai
ke bukit-bukit sebelah timur gunung Maria dan sekitarnya. Sebagian para
peladang memutuskan untuk mendirikan perkampungan baru di Wosu dan Daru. Hanya
sedikit saja yang masih tetap bertahan untuk tinggal di Pai.
Masyarakat
Wosu dan Daru pada masa itu sudah terbilang maju di bidang kerajinan emas,
perak dan besi yang berpusat di Oi Sampai, dan sekarang masih banyak terdapat
berkas-berkas peninggalannya, seperti pecahan-pecahan keramik, palu serta
benda-benda cagar budaya yaitu Masjid Batu tempat tinggal pemimpin spiritual
Rato Ara Pundu ro Nence dan Perahu Batu (Wadu lopi).
Masjid Batu
yang dibangun oleh Rato Ara pada masa Pra Islam diklaim sebagai masjid pertama
di Bima, karena pada waktu itu kerajaan Bima masih percaya kepada Roh leluhur
(Marafu, mamboro) sehingga orang-orang yang telah berfaham/menganut agama Islam
hidup terpencil dan Ompu Ma Iman mendirikan sebuah benteng batu di Kuta untuk
menjaga kemungkinan ada serangan dari luar.
Rato Ara setelah meninggal dikuburkan di sebelah Barat gunung Maria (Rade Guru
Ara Ededu Ese Ara ro Fihi). Beliau meninggalkan 4 orang anak (La Rangga, La
Goa, La Kakapi dan La Maria).
Keturunan
Rato ara menjadi sesepuh pada perkampungan disekitarnya seperti:
La Rangga
yang memimpin masyarakat Pai
La Goa sebagai
sesepuh di Buncu Pondo
La Kakapi
yang memimpin masyarakat Buncu Pataha dan,
La Maria yang
memimpin masyarakat Wosu ro Daru.
La Maria
menghimbau masyarakat Wosu dan Daru agar perkampungannya di pindahkan ke lokasi
lain sebelah barat gunung Maria, maka terjadilah perpindahan sambil mencari
lokasi yang benar-benar bagus untuk mendirikan perkampungan baru, awalnya
pemukiman sementara adalah di Tuta Sungga, kemudian berbondong-bondong menuju
Rangga Bolohawo tetapi karena disana tidak cocok untuk dijadikan sebagai sebuah
perkampungan maka mereka meneruskan perjalanan ke arah Barat yang letaknya agak
lebih rendah dari perbukitan.
Dalam perjalanan ini La Maria diiringi oleh seluruh masyarakatnya sambil
memeluk seekor ayam jantan berbulu putih sebagai hewan kesayangannya. Lalu
sampailah mereka pada sebuah bukit kecil, dan tiba-tiba ayamnya berkokok keras.
La Maria pun berkata “disini lokasi yang tepat untuk mendirikan perkampungan
tetap” .
Perkampungan baru itu diberi nama “Wawo” sesuai dengan nama daerah asalnya di
Sulawesi dan La Maria diangkat menjadi pemimpin (Ncuhi), artinya orang yang
dituruti perintah/perkataannya dan yang melindungi masyarakat. Setelah
meninggal, Ncuhi La Maria dikuburkan di atas bukit, dan sampai sekarang tempat
itu menjadi Situs Cagar Budaya.
Setelah
Ncuhi La Maria meninggal nama Wawo semakin hilang, oleh orang-orang di luar
Wawo menyebutnya ”Dou Maria”, Orang-orang warga dari Ncuhi La Maria akhirnya
disebut perkampungan Maria., namun syukurlah nama wawo diambil menjadi nama
sebuah Kecamatan (Kejenelian)
Dikutip dari:
Kampung media lengge wawo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Selamat datang, terimakasih sudah berkunjung.
Mohon gunakan bahasa yang sopan dalam berkomentar.
Jika ingin minta data postingan ini, silahkan chat pada kolom yang disediakan.
Terimakasih