Gambar Kerajaan Tempo Dulu.
Setiap daerah memiliki sejarah dan karakter masing-masing, memiliki
asal-usul atau hari jadinya, Di propinsi NTB terdapat beberapa daerah seperti
Kabupaten Bima, Kabupaten Dompu, Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok
Tengah, Kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Lombok Utara, Kabupaten Sumbawa,
Kabupaten Sumbawa Barat, Kota Bima, Kota Mataram yang tentu saja daerah-daerah
ini memiliki sejarahnya masing-masing.
Maka pada kali ini suara anak
negri ingin berbagi informasi dalam
mengulas kembali kenangan-kenangan masa lalu daerah dompu yang sejarahnya
sebagai berikut ini:
Sebagaimana daerah-daerah lain di Indonesia, Kabupaten Dompu, Propinsi
Nusa Tenggara Barat (NTB), mempunyai catatan sejarah tersendiri. Seperti halnya
Sejarah Kesultanan Lombok, Sejarah Kesultanan Sumbawa, dan Sejarah Kesultanan
Bima, Dompu dahulu kala juga merupakan salah satu daerah bekas kerajaan atau
kesultanan. Kerajaan Dompu merupakan salah satu kerajaan yang paling tua
khususnya di Indonesia Bagian Timur. Arkeolog dari Pusat Balai Penelitian
Arkeologi dan Purbakala, Sukandar dan Kusuma Ayu dari berbagai hasil
penelitiannya menyimpulkan Dompu atau (Kerajaan Dompo) adalah kerajaan yang
paling tua di wilayah timur Indonesia.
Berdasarkan catatan sejarah di Dompu, sebelum terbentuknya kerajaan di
daerah tersebut, telah berkuasa beberapa kepala suku yang disebut sebagai Ncuhi atau raja kecil. Ncuhi terdiri atas empat
orang yakni Ncuhi Hu`u yang berkuasa di daerah Hu`u (sekarang Kecamatan Hu`u),
Ncuhi Soneo yang berkuasa di daerah Soneo dan sekitarnya (sekarang Kecamatan
Woja dan Dompu). Selanjutnya Ncuhi Nowa berkuasa di Nowa dan sekitarnya serta
Ncuhi Tonda berkuasa di Tonda (sekarang wilayah Desa Riwo Kecamatan Woja
Dompu). Dari keempat Ncuhi tersebut yang paling dikenal adalah Ncuhi Hu`u.
Menurut cerita rakyat dompu di negeri Woja berkuasa seorang Ncuhi Kula
yang mempunyai anak perempuan bernama Komba Rawe. Ncuhi tersebut kemudian
dikenal dengan nama Ncuhi Patakula. Cerita rakyat setempat menyebutkan, putra
raja Tulang Bawang terdampar di daerah Woja dalam pengembaraannya, tepatnya di
wilayah Woja bagian timur. Kemudian putra raja Tulang Bawang tersebut menikah
dengan putri Ncuhi Patakula. Selanjutnya para Ncuhi sepakat menobatkan putra
raja Tulang Bawang sebagai raja Dompu yang pertama. Sedangkan Raja Dompu ke-2
bernama Dewa Indra Dompu yang lahir dari perkimpoian antara putra Indra Kumala
dengan putra Dewa Bathara Dompu. Berturut-turut Raja yang menguasai daerah ini
adalah Dewa Mbora Bisu, yang merupakan Raja Dompu yang ke-3. Raja ke-4 Dompu
adalah Dewa Mbora Balada, yang merupakan saudara dari Dewa Mbora Bisu dan Dewa
Indra Dompu. Pada abad XIX di Dompu saat itu memerintah raja-raja yang lemah.
Kerajaan dikacaukan oleh berbagai pemberontakan pada tahun 1803 yang memaksa
pihak residen campur tangan, Sultan Abdull Azis, putra Sultan Abdullah yang
kemudian mengganti Sultan Yakub, ternyata tidak mampu banyak berbuat untuk
memajukan kerajaannya.
Seluruh kerajaan antara tahun 1810-1814 diancam perompak-perompak yang
menghancurkan desa-desa yang ada di wilayah Dompu saat itu. Pada sekitar tahun
1809 Gubernur Jenderal Daendels memerintahkan Gubernur Van Kraam untuk
memperbaharui perjanjian dengan Dompu. Perjanjian tersebut diadakan di Bima.
Pada 5-12 April 1815, ketika Gunung Tambora meletus, akhirnya sepertiga dari
penduduk tewas dan sepertiga lainnya berhasil melarikan diri. Sultan Abdull
Rasul II memindahkan Istana Bata yang merupakan Situs Doro Bata yang terletak
di kelurahan Kandai I Kecamatan Dompu ke Istana Bata yang baru, karena itu dia
disebut dengan gelar Bata Bou. Beliau diganti oleh putranya, Sultan Muhammad
Salahuddin.
Salahuddin mengadakan perbaikan dalam sistem dan hukum
pemerintahaan. Dia pun menetapkan hukum adat berdasarkan hasil musyawarah dengan
para alim ulama, sekaligus menetapkan hukum adat yang dipakai adalah hukum
Islam yang berlalu di wilayah kekuasaannya. Dalam menjalankan pemerintahaannya,
Sultan dibantu oleh majelis adat serta majelis hukum. Selanjutnya mereka (para
pembantu itu) disebut manteri dengan sebutan raja bicara, rato rasanae, rato
perenta, dan rato Renda. Mereka tergabung suatu dewan adat, dan merupakan badan
kekuasaan yang mempunyai wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan Sultan.
LETUSAN TAMBORA
Gunung Tambora yang meletus pada 10-11 April 1815, dalam catatan sejarah
Dompu, mengakibatkan tiga kerajaan kecil (Pekat, Tambora, dan Sanggar) yang
terletak di sekitar Tambora tersebut musnah. Ketiga wilayah kerajaan kecil itu
pun kemudian menjadi bagian dari Kerajaan Dompu. Pertambahan wilayah Kesultanan
Dompu tersebut dinilai merupakan suatu pertanda kelahiran baru bagi Dompu Baru,
yakni pergantian antara Dompu Lama ke Dompu Baru. Peristiwa tersebut
menggambarkan kelahiran wilayah Dompu yang bertambah luas wilayahnya. Ahli
sejarah Helyus Syamsuddin mengungkapkan, peristiwa 11 April 1815 tersebut
akhirnya dijadikan sebagai hari kelahiran Dompu, yang kemudian dikuatkan dengan
Peraturan Daerah No.18 tanggal 19 Bulan Juni 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Selamat datang, terimakasih sudah berkunjung.
Mohon gunakan bahasa yang sopan dalam berkomentar.
Jika ingin minta data postingan ini, silahkan chat pada kolom yang disediakan.
Terimakasih