Oleh : Salamudin
Daeng
(Peneliti
Asosiasi ekonomi Politik Indonesia – AEPI)
TERSANDERA
AMBISI PROYEK
Salah
satu strategi pembiayaan pembangunan tertama dalam pembangunan infrastruktur
yang dilakukan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla adalah keuangan Badan Usaha
Milik Negara (BUMN).
Sebanyak
114 BUMN yang masih tersisa sampai dengan tahun 2018 (setelah holding BUMN
tambang dan BUMN Migas) sebagian diperankan secara maksimal untuk mewujudkan
ambisi mega proyek infrastruktur.
Mengapa
pembangunan infrastruktur tidak dibiayai seluruhnya dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN)?
Jawabannya
sederhana, dana APBN tidak akan dapat mencukupi, mengingat mega proyek infrastruktur
yang direncanakan pemerintah dalam lima tahun nilainya sangat besar yakni
berkisar antara Rp. 5000 sampai Rp. 6000 triliun.
APBN
sendiri sebagian besar hanya cukup untuk pembiayaan rutin seperi gaji,
tunjangan dan kegiatan rutin pemerintahan lainnya.
Sementara
utang pemerintah sendiri meningkat berkisar antara Rp. 400 triliun – Rp, 500
triliun setiap tahun (bergantung perkembangan kurs).
Sehingga
BUMN dijadikan tulang punggung dalam mencari sumber pembiayaan baik melalui
utang maupun dengan cara menjual aset aset BUMN melalui privatisasi.
Sementara
saat ini utang utang BUMN sebenarnya telah berada pada level yang cukup
mengkuatirkan, terutama BUMN yang berkaitan erat dengan pemenuhan hajat hidup
masyarakat banyak.
Demikian
juga dengan kepemilikan asing dalam BUMN juga semakin besar seiring dengan
upaya privatisasi yang dilakukan pemerintah baik secara langsung maupun tidak
langsung melalui bursa saham.
Berikut
gambaran utang dan kepemilikan swasta dan resiko keuangan beberapa BUMN berdasarkan
laporan keuangan masing masing BUMN :
BUMN
PERBANKAN
Bank
mandiri merupakan salah satu bank terbesar di Indonesia yang merupakan Badan
Usaha Milik Negara (BUMN). Kepemilikan pemerintah pada bank mindiri sebesar
60.6 %. Sebagian lagi saham atau 39.4% dikuasai oleh investor asing. Total
asset bank Mandiri mencapai Rp. 1,124 triliun.
Bank
Mandiri memiliki utang senilai Rp. 45,08 triliun (2015). Bank ini dipaksa
mendanai mega proyek infrastruktur yang disalurkan kepada BUMN lain maupun
perusahaan swasta.
Sebuah
media internasional terkemuka mengatakan "Indonesia's biggest bank is
hurting but its boss is all smiles Kartika Wirjoatmodjo has taken the helm at
Bank Mandiri as profits slide and bad loans balloon".
Keuntungan
perusahaan jatuh hampir separuh pada 2016 dibandingkan tahun 2015. NPL bank ini
sangat buruk yakni berada pada posisi 4.0 (April 2017).
Mengapa
kondisi keuangan Bank Mandiri demikian ? Hal itu terjadi karena pemberian
pinjaman dari China untuk membeli saham Newmont Nusa Tenggara. Itulah mengapa
Bank Mandiriz baru baru ini berencana akan menjual aset mereka dalam rangka
menangani utang yang besar karena kegagalan investasi para taipan yang
dibiayainya di sektor tambang.
Sebagaimana
diketahui tahun 2016 lalu, tiga bank BUMN yakni Bank Mandiri, Bank BNI,
dan bank BRI “dipaksa” mengambil utang dari China untuk membiayai taipan
Indonesia yang tengah sekarat. Pinjaman dari China (China Development
Bank (CDB) senilai US$ 3 dolar dibagi bagikan kepada taipan dan oligarkhi
penguasa nasional.
Dana
pinjaman CDB oleh Bank Mandiri digunakan juga untuk membeli saham PT. Newmont
Nusa Tenggara (PT NNT) sebuah perusahaan tambang yang mau tutup dan gagal
mengembangkan operasinya di Nusa Tenggara Barat. Padahal sebelumnya pemerintah
beralasan utang ke China adalah dalam rangka untuk membangun
infrastruktur.
Selanjutnya
Bank Negara Indonesia (BNI) memiliki utang sebesar Rp. 46,528 triliun.
BNI total debt to equty ratio sebesar 85.16. dana pemengang saham sebesar Rp
109,607 triliun. Sebagian besar adalah pihak asing. NPL perusahaan berada pada
batas mengkuatirkan 3%.
Demikian
pula halnya dengan Bank Bank Rakyat Indonesia (BRI). BUMN ini memiliki
utang paling besar dari jajaran bank BUMN yakni mencapai Rp. 83,783 triliun
dengan Rp. 220 triliun lebih pemegang saham yang sebagian besar adalah asing.
NPL perusahaan sangat buruk mencapai 5.61. tampak sekali bank ini hendak
dibangrutkan untuk dijual kepada asing dan taipan.
Bank
Tabungan Negara (BTN) memiliki utang sebesar Rp. 29,89 triliun, dengan aset
171,8 triliun. dengan debt to equity ratio senilai 194%. Pendapatan bersih bank
ini sebsar Rp. 1,85 triliun pada tahun 2015. Keuntungan tidak cukup untuk bayar
utang.
Strategi
utama menerapakan bunga tinggi yang tentu saja sangat mencekik rakyat.
Sebetulnya Bank ini tidak ada kemampuan sama sekali membiayai mega proyek
infrastruktur maupun perumahan yang dibebankan pemerintah.
BUMN
INDUSTRI
BUMN
Krakatau Steel memiliki utang sebesar Rp. 21,829 triliun, memiliki aset sebesar
3,072 juta dolar. Krakatau Steel memiliki debt to equity ratio sebesar 90,79 %
atau pada kondisi keuangan yang mengkuatirkan.
Di
tengah maraknya proyek pembangunan infrastuktur besar besaran yang dilakukan
Pemerintah Jokowi ternyata krakatau steel yang seharusnya menjadi penyuplai
utama kebutuhan bahan baku tidak mendapat keuantungan apapun. Perusahaan ini
mengalami kerugian senilai 320 juta USD atau sebesar Rp. 4,32 triliun (Laporan
Reuter 2015).
Selanjutnya
PT Indosat pada tahun 2015 memiliki utang sebesar Rp. 27,64 triliun. Sementara
aset perusahaan sebesar Rp. 55,39 triliun.
Perusahaan
telah mengalami kerugian sebesar 1,3 triliun pada tahun 2015. Besar kekuatiran
berbagai kalangan asset perusahaan dipreteli untuk dijual satu persatu untuk
menutupi kewajiban perusahaan.
PT
Semen Indonensia merupakan salah satu BUMN industri yang tersandera utang cukup
besar. Saat ini, perseroan memiliki total utang sebesar Rp13,65 triliun.
(Mei, 2017) Utang tersebut terdiri dari utang jangka pendek sebesar Rp 8,15
triliu dan jangka panjang sebesar Rp5,5 triliun.
Perusahaan
saat ini aktif untuk menjual obligasi dengan bunga antara 8-9% dalam rangka
memperoleh sumber pendanaan terutama untuk membayar utang jangka pendek
mereka.
Total
liabilitas perseroan juga meningkat menjadi Rp 17,14 triliun di September 2017.
Tapi total aset perseroan senilai Rp 47,29 triliun. Akibatnya laba bersih
perseroan sepanjang 9 bulan tahun 2017 ini yang anjlok 50,16%.
BUMN
ENERGI
Utang
BUMN Perusahaan Gas Negara (PGN) sudah sangat besar yakni mencapai US$2,852
miliar atau Rp. 38,511 triliun.
Nilai
ini setara dengan debt to equity 0.87% (PGN Equity US$ 3,279 miliar),
dengan bunga utang 4.57 %. (Laporan PGN Maret 2017).
Sementara
pengusaan swasta atas PGN telah mencapai 43% dari asset perusahaan senilai US$
6,986 miliar. Penguasan swasta dan asing terhadap PGN mencapai 43%. Jika
ditambah dengan total utang PGN, maka penguasaan swasta atas PGN telah mencapai
84% dari total asset PGN.
Selanjutnya
PT Pertamina sedang digenjot untuk mebiayai berbagai mega project. Salah
satunya adalah pembangunan kilang kilang Pertamina. Namun sayangnya pembangunan
kilang kilang ini akan menggunakan dana asing dan utang dari pasar keuangan.
Dengan
demikian maka asset paling kunci dari Pertamina akan dilego untuk mendapatkan
utang. Tidak tanggung tanggung, nilai mega proyek yang akan dibangun Pertamina
mencapai Rp. 700 triliun.
Darimana
uangnya? Pasti dari utang. Padahal utang pertamina sekarang sangat besar.
Pertamina memiliki utang senilai 8,75 miliar dolar atau sekitar Rp. Rp. 118,125
triliun, aset pertamina 2015 mencapai 45,519 miliar dolar atau senilai Rp.
614,5 triliun.
Namun
anehnya perusahaan ini dilarang mendapatkan keuantungan tapi diperbolehkan
mencari utang yang besar. Ini sama dengan menjual perusahaan ini dengan
diam-diam.
BUMN
energy yang paling parah sepak terjangnya adalah Perusahaan Listrik Negara
(PLN). Sebuah perusahaan bancakan yang sangat empuk dewasa ini.
Perusahaan dipaksa memenuhi ambisi pemerintah membangun mega proyek 35 ribu
megawatt. Sebuah mega proyek yang menjadi bancakan asing dan taipan.
Darimana
sumber dananya? Tidak lain dari utang baik melalui tangan PLN langsung maupun
menggunakan tangan Negara. Utang dan kewajiban PLN telah mencapai Rp. 500,175
triliun. Ini merupakan perusahaan dengan rekor tertinggi dalam mengambil utang.
Total utang PLN dapat mencapai 100 % dari total asset jika mengacu pada nilai
aset sebelum revaluasi.
Sementara
laba bersih PLN berdasarkan laporan keuangan mereka hanya tahun 2016 sebesar Rp
10,5 triliun. Pencapaian tersebut turun dibandingkan laba bersih 2015 yang
sebesar Rp 15,6 triliun.
Pertanyaannya
sampai kapan perusahaan ini dapat membayar utangnya?. Meskipun seluruh
keuntungan PLN dialokasikan untuk bayar utang, maka utang tersebut tidak akan
dapat dilunasi selama 50 tahun ke depan.
BUMN
KARYA
BUMN
PT Adhi Karya dipaksa masuk ke dalam perangkap utang yang besar. Reuters
melaporkan keuntungan perusahaan year on year jatuh hingga -32.40% tahun
2017.
Padahal
penerimaan perusahaan meningkat dari Rp. 9.39tn menjadi Rp. 11.06 trilun.
Akibat perangkap utang yang dibuat pemerintah perusahaan ini tersandera utang
yang sangat besar.
Utang
Adhi Karya (Persero) Tbk PT telah mencapai 43.68% dibandingkan aset (debt
to aset ratio) meningkat dari 37.90% tahun sebelumnya. Sementara cadangan
(cash reserves) Adhi Karya (Persero) kurang dari Rp. 1 triliun atau hanya 10 %
dari utang perusahaan. Perusahaan ini benar benar ditempatkan ditepi jurang
yang sangat besar demi ambisi penguasa.
Kondisi
Utang BUMN infrastruktur belakangan ini smeakin memburuk. Hingga Bulan July
2017, total utang dari empat BUMN infrastruktur meningkat sebesar Rp. 42,9
triliun atau meningkat 134% debandingkan dengan periode yang sama tahun
sebelumnya yakni meningkat 18,3 triliun.
Secara
keseluruhan total utang empat BUMN yakni PT Wijaya Karya (Persero) Tbk.,
PT Waskita Karya (Persero) Tbk., PT Adhi Karya (Persero) Tbk., and PT PP
(Persero) Tbk., diperkirakan akan meningkat Rp 100.7 trillion pada tahun 2019
dengan melihat trend peningkatan saat ini dan besarnya kebutuhan pendanaan
infrastruktur.
Pada
sisi lain kemapuan keuangan empat perusahaan BUMN tersebut kian sempit. Sumber
keuangan yang ada hanya cukup untuk membayar bunga utang. saat ini debt to
equity ratio (DER) empat perusahaan tersebut sudah beradatingkat yang
membahayakan.
Nilai
DER pada tahun 2015 ketika Jokowi mulai berkuasa telah mencapai 108%.
Sekarang ini DER empat BUMN kontraktor pemerintah ini mencapai 134% dapa 2015
dan diperkirakan 165% paa tahun 2019 mendatang.
KESIMPULAN
Utang
BUMN yang semakin besar tersebut muaranya akan menghilangkan kesempatan BUMN
untuk mengabdi pada kepentingan bangsa, negara dan rakyat.
BUMN
dimasa yang akan datang semakin sibuk mengurusi utang dan membebankan kewajiban
tersebut kepada masyarakat. Caranya adalah dengan menaikkan harga barang dan
jasa public seperti menaikkan tarif dasar listrik, manaikkan tarif tol,
menaikkan harga BBM, dan termasuk mencekik rakyat dengan bunga yang tinggi.
Sisi
lain Pemerintah menyuntikkan dana melalui Penyertaan Modal Negara (PMN).
Suntikan dana PMN kepada BUMN tersebut tentu saja mengorbankan anggaran subsidi
yang seharusnya diberikan kepada rakyat. Seluruh subsidi listrik, bbm dan
layanan umum lainnya dihapuskan oleh pemerintahan ini sejak awal
berkuasa.
Akibatnya
di tengah pesta pora oligarki penguasa, taipan dan asing yang meraup
keuantungan dari mega proyek infrastruktur, daya beli masyarakat merosot,
ketimpangan ekonomi meningkat, pengangguran dan kemiskinan justru makin
bertambah. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Selamat datang, terimakasih sudah berkunjung.
Mohon gunakan bahasa yang sopan dalam berkomentar.
Jika ingin minta data postingan ini, silahkan chat pada kolom yang disediakan.
Terimakasih